Merangkai Puzzle Kehidupan Menjadi Penulis
Sebuah Diskusi Dengan Diri
Kehidupan ini memang seperti rangkaian puzzle. Awalnya kamu hanya tahu setiap bagian hidupmu berantakan. Seolah tak bisa tersusun rapi dan kamu hanya melihat kegagalan di sana.
Kemudian kamu melihat di
sekelilingmu, teman-temanmu yang berhasil meraih pekerjaan impiannya, hinggap
dari satu negara ke negara lain, meraih penghasilan besar yang jauh dari yang
kamu dapatkan saat ini.
Apakah kamu gagal?
Dengan lantang aku pun ingin menjawabnya,
TIDAK.
Tidak ada kegagalan. Kamu hanya
sedang berproses dalam kehidupan ini. Jangan melihat mereka dari sisi
keberhasilan yang ingin kamu lihat saja, tapi tengok lah ke belakang pada
perjuangan mereka. Memang berbeda dengan perjuanganmu, tapi setiap orang
memiliki medan perangnya masing-masing.
Katakanlah saat ini kamu
menginginkan pekerjaan impian. Cobalah tengoklah ke belakang, kamu pernah
mendapatkannya tapi impian yang kamu anggap baik sayangnya bukan yang terbaik
di hadapan Allah.
Kamu ingin punya penghasilan
besar? Kamu pernah juga memilikinya. Bahkan kamu belanjakan prestigiusmu itu
dengan membeli kendaraan dan rumah seperti yang teman-temanmu lakukan. Tapi
lihat lah, kamu melepaskannya setelah tersadar kamu berjalan menjauh dari-Nya.
Kamu ingin travelling? Aku tidak
yakin kamu benar-benar menginginkannya saat ini. Mengakulah!
Cobalah merangkai puzzle
kehidupanmu sendiri daripada memikirkan pencapaian hidup orang lain. Kamu tahu
sendiri bahwa segala sesuatu yang instan akan lenyap pula secara instan.
Seperti mie instan yang cepat membuatnya tapi terlalu cepat juga kau habiskan.
Mari ku bantu menyusun puzzlemu
satu per satu yang kau anggap kegagalan itu.
Namun sebelum itu bolehkah aku
bertanya, apakah kamu sudah tahu tujuan hidupmu? Aku tahu tujuanmu selalu
berubah setiap kali kamu mendapati hal yang baru, tentunya karena ada
perspektif baru yang kamu ketahui. Begitu kecilnya diri kita jika dibandingkan
ilmu dari-Nya yang seluas samudra hingga mampu membuat kita selalu belajar.
Baiklah kini kamu sudah mengubah
tujuan hidupmu karena aku tahu kamu sudah menemukan pembelajaran dari setiap
prosesnya. Tapi mari kita selesaikan ganjalan hatimu saat ini yang masih
mengusikmu untuk mengatakan bahwa dirimu gagal.
Kamu suka menulis. Kamu
melakukannya sejak kecil, mungkin kamu menyadarinya sejak kamu berseragam putih
biru. Kamu pun mulai suka membaca saat itu, bacaan favoritmu adalah Chicken
Soup dan Kahlil Gibran. Aku tahu hampir seluruh serinya berusaha kamu temukan
dan kamu baca. Jika kamu tidak bisa menemukan di perpustakaan sekolah, kamu
akan mencarinya ke perpustakaan kota, dan bahkan kamu berusaha menabung untuk
membelinya jika itu adalah buku terbitan baru.
Kamu mulai merangkai kata demi
kata, berupa sajak yang hanya kamu sendiri yang paham maknanya. Kamu menulisnya
setiap senja di atas loteng rumah nenekmu. Aku ingat kalau tidak ada jadwal
mengaji setelah mandi sore kamu akan bergegas mengambil buku harian dan pulpen
andalanmu untuk segera menulis di atas loteng sambil menikmati langit senja
yang berwarna orange. Kamu sangat suka memandangnya, katamu warna langit sore
seperti menandakan perpisahan. Perpisahan pada terang untuk berpamitan menjadi
gelap. Meski katamu itu menyedihkan tapi kamu suka melihatnya. Katamu itu sendu.
Katamu itu waktu yang tepat untuk mengingat orang-orang di sekelilingmu yang
kamu sayangi.
Terkadang sajak-sajak isi hatimu
itu kamu lanjutkan lagi di malam hari jika kantuk tak kunjung menghampirimu.
Sambil mendengarkan radio yang berisi lagu-lagu request pendengar lainnya, yang
terkadang terselip beberapa lagu favoritmu.
Kamu melakukan itu sampai lulus
SMA dan akhirnya memasuki dunia kampus kamu menemukan kehidupan baru. Aku lihat
kamu sudah jarang menulis karena kamu sibuk beradaptasi dan mengartikan
kehidupan. Kehidupan yang kamu artikan tidak begitu tepat saat itu. Kamu selalu
hanya melihat sisi kekuranganmu dibandingkan kelebihanmu. Kamu jadi membatasi
dirimu sendiri.
Waktu itu kamu sedang menjalin
persahabatan dengan seseorang dan beberapa kali kamu pun sempat ingin menjalin
hubungan cinta dengan pria-pria yang coba mendekatimu. Namun pada akhirnya tak ada
satupun yang bertahan hingga saat ini dari hubungan-hubungan itu, baik
persahabatan maupun percintaanmu. Tapi aku yakin kamu mendapatkan hikmahnya
saat ini meski itu butuh proses bertahun lamanya agar kamu bisa memahami, memaafkan,
dan melepaskannya.
Karya menulismu saat kuliah
berakhir dengan masterpiece sebuah skripsi yang mengantarkanmu
mendapatkan gelar sarjana di kampus impianmu. Iya itu kampus impianmu, karena kamu
rela mengambil gap year satu tahun demi mencoba mengikuti seleksi lagi
di sana. Lihat lah! Kamu tidak gagal.
Setelah wisuda kamu merasa
kesulitan mendapatkan pekerjaan. Akhirnya pun kamu mengambil job menulis
artikel untuk sebuah website sambil mengikuti tes lowongan pekerjaan beberapa
perusahaan. Lebih dari 10 perusahaan coba kamu ikuti. Kamu sempat pusing dan
panik karena uang saku pun sudah menipis. Untungnya pekerjaan sampinganmu sebagai
content writer saat itu hasilnya bisa kamu pakai untuk transport dan
sewa kos sebelum mendapatkan pekerjaan.
Setelah melewati beberapa
perusahaan akhirnya kamu mendapatkan pekerjaan sebagai bankir di bank plat
merah. Sebuah posisi yang prestigious saat itu karena setelah dua tahun
kontrak kamu diangkat menjadi pegawai tetap. Gajimu pun sudah melebihi dari
standar gaji rata-rata pegawai di kotamu. Kamu senang? Tentu. Karena kamu bisa
berbagi dengan membantu keluargamu. Meski pada akhirnya kamu terlalu memanjakan
mereka dan brutal memberikan semua yang kamu punya untuk mereka. Aku tahu kamu
saat itu begitu takut jika diabaikan dan ditinggalkan. Kamu ingin sekali saja
menolak tapi itu sungguh berat bagimu karena rasa bersalah yang akan
menghantuimu.
Jika kini kamu menanggung banyak
beban karena pengeluaranmu yang berlebihan itu untuk mereka, maka jangan
sesali. Itu bukan kegagalanmu. Kamu hanya berproses dan mengambil
konsekuensinya. Aku yakin kamu orang yang bertanggung jawab. Kamu bisa
menyelesaikannya kelak dengan baik. Tentu jangan putus asa untuk mengharap
ridho dan pertolongan-Nya.
Sejak kehidupan bergelimang
materi itu kamu berjanji pada dirimu sendiri untuk tidak melakukannya lagi.
Kamu berjanji untuk membiarkan dirimu mengikuti kehendak hatinya, bukan
kehendak orang lain. Ukuranmu mengenai sukses pun kini telah berubah, bukan
lagi soal ketenaran dan harta. Kamu pernah memilikinya tapi itu tidak berhasil membuat
hatimu bahagia dan yang ada hanyalah hampa.
Kini kamu kembali berusaha untuk
menulis lagi. Tulisan yang kini sedang kamu buat adalah penggambaran perjalanan
hidupmu menemukan berlian dari dirimu. Berlian yang sejak lahir telah berkilau
tapi belum sempat kamu rawat dengan baik.
Jangan menyerah untuk terus
memolesnya agar menjadi berlian yang berkilau kembali. Mungkin akan kau temui
lagi kesedihan dan kegelapan di setiap perjalanannya tapi jangan lupa untuk
segera bangkit kembali. Dan berbagilah hikmah dari kisah rangkaian puzzlemu itu
untuk kebaikan hidup orang lain. Aku yakin di luar sana banyak seperti kamu
yang merasa gagal, terlambat, dan perasaan lainnya yang berakhir dengan luka.
Bantulah mereka menemukan diri agar saatnya nanti kita kembali semua sudah selesai
sesuai waktunya. Ya, waktu untuk kita hidup di dunia ini.
Tulisan ini adalah prolog behind
the scene pembuatan buku yang sedang proses saya selesaikan. Judul
sementaranya adalah “Luka yang Tertinggal”. Semoga buku itu nantinya bisa
membantumu dalam merangkai puzzle kehidupan melalui perjalanan menyembuhkan
luka.
Ukuran keberhasilan menjadi
penulis bukan terletak pada berapa banyak karya yang dikenal. Tapi kamu sejatinya
sudah berhasil menjadi penulis saat kamu tidak berhenti untuk terus menulis,
setidaknya untuk dirimu sendiri. Setiap torehan kata dalam karyamu akan
menemukan pembacanya sendiri.
Posting Komentar untuk "Merangkai Puzzle Kehidupan Menjadi Penulis"