Sumber : krakatau-quelle.co.id |
Orang yang sukses tidak selalu dihasilkan karena sekolah.
Kita lihat Steve Jobs, pendiri Apple, yang memilih DO (drop out) dari
sekolahnya demi mengejar impian. Mantan Menteri Perikanan dan Kelautan, Susi
Pudjiastuti pun tidak lulus SMA. Bahkan Mantan Presiden RI kita, Ibu Megawati
Soekarnoputri, tidak menyelesaikan kuliahnya.
Jadi ada dan tiadanya sekolah apakah berpengaruh bagi masa
depan seseorang?
Namun ada fakta lain ketika kondisi belajar ditengah pandemi
ini harus berubah, yaitu secara online dari rumah. Hasilnya banyak emak-emak
yang mengeluh karena kewalahan untuk dampingi anak-anak belajar. Ternyata
sekolah tetap dibutuhkan oleh banyak orang.
Dari kedua fakta di atas, ada dan tiadanya sekolah
tergantung dengan kesadaran masing-masing anak untuk bisa belajar sendiri.
Kita tidak bisa menyalahkan orangtua yang tidak bisa atau
tak punya waktu untuk mendampingi anak-anak belajar. Hal ini karena orang tua
adalah hasil pendidikan di jaman dulu. Jaman dulu kebanyakan belajar hanya di
sekolah karena banyak keterbatasan, terutama penghasilan dan waktu. Oleh sebab
itu, melihat anak-anak bisa pergi ke sekolah adalah cita-cita orangtua.
Meski demikian, apakah tradisi pendidikan Indonesia tidak
bisa mengikuti perkembangan jaman? Belajar di tengah pandemi ini menjadi
tantangan, baik bagi murid maupun guru. Belajar secara online adalah hal yang
baru, belum lagi guru-guru senior yang juga harus beradaptasi dengan dunia
digital.
Aku yakin wajah pendidikan di Indonesia bisa berubah. Pengenalan
pada minat dan bakat bisa menjadi solusi
untuk menanamkan kesadaran belajar anak secara mandiri sejak dini.
Jadi anak-anak sekolah tidak hanya belajar untuk kelulusan.
Namun lebih dari itu. Pendidikan di Indonesia harus memberitahu mereka lebih
banyak tentang apa yang mereka sukai, aktivitas apa yang bisa ditekuni,
bagaimana mereka nanti bekerja, bagaimana tidak hanya bekerja tapi juga
berkarier.
Sumber : republika.co.id |
Headline berita di atas mewakili dari sekian banyak
pemberitaan tentang ketidakmampuan anak dalam memilih jurusan yang sesuai
dengan dirinya. Banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Oleh karena itu,
belajar secara mandiri dimulai dengan apa yang seharusnya mereka ketahui, bukan
dimana mereka belajar.
Alasannya karena :
1. Selama
ini anak hanya tahu lulus sekolah tanpa tahu apa yang ingin dia tuju.
Aku adalah contoh bagaimana pendidikan yang aku dapatkan di
Indonesia. Sejak masuk SD aku hanya tahu bagaimana harus bisa masuk SMP
favorit. Lulus dari SMP aku harus bisa masuk SMA favorit. Waktu itu aku tidak
berhasil dan akhirnya kecewa.
Namun aku bangkit lagi ketika SMA, aku harus bisa masuk PTN
favorit. Dan akhirnya ku kejar impian ke UGM, meski harus terlambat 1 tahun
karena gagal ditahun pertama UM.
Saat memilih jurusan di UGM pun aku terkendala keterbatasan
uang. Jurusan yang diinginkan harus disertai biaya awal yang juga tidak
sedikit. Akhirnya aku pun memilih jurusan yang tidak banyak uang diawal.
Aku bukanlah anak yang sepintar itu untuk bisa dapat
beasiswa. Upaya mendapatkan beasiswa sebagai mahasiswa kurang mampu juga sia-sia
karena ayahku adalah PNS dan aku anak tunggal.
Akhirnya aku pilih Jurusan Ilmu Pemerintahan. Aku tahu itu
bukan minatku karena jurusan impianku adalah psikologi. Politik adalah dunia
baru untukku. Tidak terpikirkan olehku setelah lulus mau jadi apa.
2. Selama
ini pola asuh dari orangtua belum bisa mengarahkan anaknya ingin menjadi apa.
Ada cerita yang dialami oleh sepupuku yang lulus SMK dan dia
dipaksa oleh orangtuanya untuk masuk PTN dengan jurusan yang bergengsi.
Bergengsi itu seperti masuk jurusan ekonomi, teknik, kedokteran.
Dia sempat tertekan oleh apa yang orangtuanya inginkan.
Karena dia tahu bahwa tidak pandai dalam matematika, akuntansi, dan bahasa.
Minatnya sebenarnya dalam desain baju dan bakat
menggambarnya menurutku luar biasa. Saat itu aku katakan padanya bahwa aku lebih
dukung dia masuk jurusan desainer.
Waktu itu orangtuanya sempat mengatakan, “Kalau cuma mau
jadi penjahit ngapain kuliah?”
3. Tidak
selalu masuk PTN dan jurusan bergengsi itu bikin anak sukses.
Setelah lulus aku kerja dimana? Parpol? LSM? Jadi PNS?
Tidak. Aku bekerja sebagai bankir yang menerima kualifikasi dari semua jurusan.
Awalnya berat karena tidak sesuai jurusan kuliah. Menjalani
kuliah pun juga berat karena tidak sesuai minat. Sebenarnya aku lebih senang
membaca buku pengembangan diri tapi bacaan kuliah waktu itu tentang politik.
Tapi aku ambil positifnya dimana aku tetap bisa membaca.
Dalam perjalanannya aku sadar bahwa bukan jurusan kuliahnya
yang salah, melainkan tujuan kuliahku. Aku hanya ingin sekedar lulus dari PTN
favorit.
Sumber : halokampus.com |
Contoh data di atas diambil dari 187 responden yang
dilakukan oleh pemilik website halokampus.com. Ternyata dia mengalami hal
serupa, dimana sekolah di STAN, lulus, dan bekerja menjadi PNS tapi akhirnya mengundurkan
diri. Dia memilih bergabung di perusahaan start up di bidang pendidikan.
4. Dampak
tak tahu minat dan bakat, bekerja pun hanya untuk cari uang.
Bekerja sebagai bankir juga sebenarnya bukan minatku. Aku
bukan orang yang pandai dalam bidang berhitung, jadi sejak SMA aku sangat
menghindarinya. Seperti dulu aku memutuskan untuk pindah ke IPS, meski guruku
memasukkan ke IPA dengan alasan nilaiku sampai. Tapi nilai-nilai IPSku jauh lebih
baik jika dibandingkan nilai mata pelajaran IPA.
Memilih bekerja di bank pun karena perusahaan itu bonafide,
apalagi BUMN. Lulus dari PTN favorit dan bekerja di bank adalah suatu prestasi
untuk bisa dibanggakan para orangtua.
Namun jujur aku tidak tahu apakah itu keputusan yang membuatku
bahagia. Pada perjalanannya aku hanya bisa bertahan selama 5 tahun 3 bulan. Aku
tidak bisa lebih lama membayangkan harus bekerja dengan rutinitas yang sama dan
mengesampingkan kebahagiaan. Yakin selama hidup di tempat ini?
Dari keempat alasan di atas, aku setuju sekali dengan
langkah awal Menteri Pendidikan kita, Bapak Nadiem Makarim, yang menghapuskan
ujian nasional. Meski banyak pro dan kontra dalam kebijakan yang diambilnya
itu.
Seperti saat dia mendirikan Gojek dulu. Di satu sisi
aplikasi ini sangat membantu. Namun tidak untuk orang-orang yang berprofesi
seperti tukang ojek dan taksi konvensional.
Aku yakin apa yang Nadiem ambil untuk kebijakan pendidikan
di Indonesia bisa membawa perubahan. Tentunya ke arah yang lebih baik. Hanya
saja ada beberapa dampak yang tidak cukup adaptable
dalam prakteknya.
Jika Nadiem pernah berkata kuliah itu nggak penting. Ada
benarnya juga. Terbukti Ibu Susi Pudjiastuti pun tidak kuliah tapi tetap bisa
jadi menteri.
Namun tanpa kuliah tidak bisa dapat ijazah untuk melamar
pekerjaan. Itu menurut orang-orang sepertiku yang tidak berpikir mendirikan
perusahaan rintisan alias ingin bekerja ikut orang di perusahaan bonafide. Aku
yakin itu juga menjadi cita-cita para orangtua untuk anaknya.
Oleh karena itu, jika aku menerima tongkat estafet dari
Nadiem Makarim kelak sebagai pemimpin Pendidikan di Indonesia, aku ingin
mengubah wajah pendidikan Indonesia dengan lebih fokus pada minat dan bakat.
Contohnya ketika SD – SMP anak-anak diberi wawasan tentang
segala macam hobi dan aktivitas. Aku pikir pelajaran Fisika, Kimia, Biologi
yang terlalu rumit belum diperlukan. Toh pada saat anak memilih jurusan itu di
bangku kuliah mereka akan mendapati bahwa jurusan yang dipilih tidak sesuai
dengan harapan anak selama ini yang dia dapatkan saat sekolah.
Tes minat dan bakat bisa menjadi fasilitas yang siswa
dapatkan menjelang kelulusan di SMP. Hasilnya bisa digunakan sebagai bekal anak
memilih fokus belajar saat SMA. Hal yang belum ada di SMA adalah jurusan apa
saja yang ada di tingkat perguruan tinggi, belajar tentang apa, dan apa
pengaruhnya bagi pilihan pekerjaan dimasa depan.
Setiap anak memiliki keunikan, keahlian, dan keinginannya
masing-masing. Dengan fokus minat dan bakat, maka anak-anak yang belum tahu
minatnya bisa segera menemukan passionnya. Anak-anak yang sudah tahu bakatnya
memiliki kesempatan untuk mengembangkan dan menekuninya.
Seperti cerita dari sepupuku yang dia masih duduk di bangku SMP.
Dia adalah juara pertama dalam matematika tapi nilai Bahasa Inggrisnya sangat
mepet dengan rata-rata kelas. Dia dan orangtuanya dapat peringatan dari wali
kelas.
Orangtuanya ingin mencarikan les tambahan Bahasa Inggris
jika dia tidak bisa belajar lebih tekun sendiri. Upaya tersebut sekilas
mengabaikan apa yang diraih anak itu sebagai pemegang ranking 1 nilai matematika.
Seolah apa yang dia dapatkan tidak berguna.
Seolah menjadi serakah, anak yang ranking 1 itu harus pandai
dalam semua bidang. Meski itu bisa, tapi itu mustahil dilakukan oleh semua
orang.
Dunia ini bukan tempat untuk berkompetisi dengan meraih
prestasi disegala bidang. Karena kita sadar bahwa setiap orang memiliki
keahlian masing-masing.
Pandangan tentang sekolah itu pun juga harus berubah. Dari
ceritaku di atas kita lihat bahwa tujuan kuliahku dan orang-orang dengan pola
asuh jaman dulu masih melihat kuliah harus di PTN favorit dengan jurusan yang
menurut mereka baik. Padahal kuliah itu tempat kita mengasah dan mengembangkan
pola pikir.
Kalau ingin kuliah cuma biar wisuda dan dapat gelar, mending
nggak usah aja. Karena tidak akan membawa kebaikan dimasa depan.
Sekali lagi tidak bisa sepenuhnya menyalahkan orangtua.
Mereka juga hasil sistem pendidikan yang sudah mendarahdaging dari dulu.
Oleh sebab itu, peran generasi muda sudah saatnya bergerak
berbeda dengan penuh kesadaran atas apa yang ingin dicapai dan ditekuni. Dengan
begitu kelak para generasi muda inilah yang akan menjadi orangtua yang
mengikuti perkembangan jaman.
Para generasi muda wajib tahu dan sadar bahwa pekerjaan yang
dilakukan sesuai passion akan berpengaruh pada level kebahagiaan. Ketika orang semakin
bahagia maka dia akan semakin ingin berbagi.
Namun demikian, perubahan memang tidak nyaman. Karena banyak
orang yang harus bergerak untuk menyesuaikan. Dan fokus pada pendidikan minat
dan bakat bukan hal yang bisa dilakukan dalam waktu singkat.
Kuncinya adalah berproses. Pasti di tengah perjalanannya
akan ada kendala yang menimbulkan pro dan kontra. Tapi bagaimana caranya
merangkul mereka agar kembali pada tujuan utama, yakni mengubah pendidikan
menjadi lebih baik lagi.
Mungkin yang diperlukan adalah waktu dan kecepatan yang tepat.
Masyarakat butuh waktu dan kecepatan yang sesuai dengan kemampuan.
Aku pun yakin dengan begitu, kondisi sistem belajar di
tengah pandemi ini tidak akan menjadi masalah ketika nantinya masyarakat bisa
beradaptasi.
Pernah mengikuti sistem belajar di dua PTN memberikan pemahaman
dan pengalaman bagiku. Di UGM aku baru mengenal yang namanya silabus, yang
tidak aku dapatkan di PTN sebelumnya. Jadi dalam silabus sudah terjadwal materi
apa saja yang dipelajari satu semester kedepan, referensi apa yang dibutuhkan,
dan tugasnya apa. Jadi saat kuliah, mahasiswa dan dosen hanya akan berdiskusi.
Sangat jarang sekali memberikan materi sesuai buku atau modul.
Sistem belajar ini membuat mahasiswa mau tidak mau harus
baca, harus paham, dan jika ada yang tidak dimengerti bisa ditanyakan saat
pertemuan kuliah. Kalau belum baca di kelas pasti nggak paham apa-apa deh.
Indahnya wajah pendidikan di Indonesia andai setiap anak
diajarkan mengenal diri dan minatnya. Tidak akan ada lagi orang yang stress bekerja,
tidak ada lagi anak yang merasa salah pilih jurusan kuliah, tidak ada lagi anak
yang terpaksa kuliah hanya karena takut stigma masyarakat kalau nggak kuliah dianggap
gagal. Semua sudah memiliki peta kehidupannya masing-masing. Tinggal bagaimana pendidikan
bisa mengarahkan mereka saat menggambar peta.
Jadi sekolah itu masih perlu nggak?
Jika sekolah bisa mengarahkan anak-anak untuk bisa berpikir
lebih kreatif dan memberikan kesadaran untuk meraih apa yang ingin dilakukan,
maka sekolah menjadi lembaga yang masih sangat dibutuhkan. Karena di situlah tempat
para ahli ilmu pengetahuan berada.
Namun jika sekolah hanya dipandang sebagai tempat yang bisa
membuatnya memperoleh predikat lulus, maka jangan berharap lebih dari sekolah.
Dan sekarang yang aku lakukan di usia 30-an ini adalah
mengejar ketertinggalan minat yang sebenarnya aku impikan sejak lama, yaitu di
bidang pengembangan diri dan jurnalistik. Meski aku pun tak tahu apakah ada bakat di bidang tersebut.
Angela Duckworth (2018, 39) mengatakan bahwa fokus pada bakat
mengalihkan perhatian kita dari sesuatu yang setidaknya sama pentingnya, yaitu
upaya, bahwa sepenting apa pun bakat, upaya bernilai dua kali lebih penting.