Kisah Inspirasi Islami dari Sahabat Nabi

 

Berikut ini adalah kisah
inspirasi Islami yang berasal dari cerita sahabat Nabi. P
elajaran mana yang lebih baik daripada sebuah keteladanan?
Terlebih dalam kondisi ketika banyak pemimpin negeri kita yang tak amanah.
Namun tak selayaknya kita berputus asa, justru kita wajib berdoa. Semoga Allah
kan hadirkan sosok pemimpin teladan seperti sejarah merekam Umar bin Khattab
dan kepemimpinan beliau.

 

Kisah Inspirasi Islami : Umar dan Keprihatinannya pada
Rakyat Miskin

Krisis
itu masih melanda Madinah. Korban sudah banyak berjatuhan. Jumlah orang-orang
miskin terus bertambah. Khalifah Umar Bin Khatab yang merasa paling bertanggung
jawab terhadap musibah itu, memerintahkan menyembelih hewan ternak untuk
dibagi-bagikan pada penduduk.

Ketika tiba
waktu makan, para petugas memilihkan untuk Umar bagian yang menjadi
kegemarannya: punuk dan hati unta. Ini merupakan kegemaran Umar sebelum masuk
islam. “Dari mana ini?” tanya Umar.

“Dari hewan
yang baru disembelih hari ini,” jawab mereka.

“Tidak!
Tidak!” kata Umar seraya menjauhkan hidangan lezat itu dari hadapannya. “Saya
akan menjadi pemimpin paling buruk seandainya saya memakan daging lezat ini dan
meninggalkan tulang-tulangnya untuk rakyat.”

Kemudian
Umar menyuruh salah seorang sahabatnya,” Angkatlah makanan ini, dan ambilkan
saya roti dan minyak biasa!” Beberapa saat kemudian, Umar menyantap yang
dimintanya.

Kisah yang
dipaparkan Khalid Muhammad Khalid dalam bukunya ar-Rijal Haular Rasul itu
menggambarkan betapa besar perhatian Umar terhadap rakyatnya. Peristiwa seperti
itu bukan hanya terjadi sekali saja. Kisah tentang pertemuan Umar dengan
seorang ibu bersama anaknya yang sedang menangis kelaparan, begitu akrab di
telinga kita. Ditengah nyenyaknya orang tidur. Ia berkeliling dan masuk
sudut-sudut kota Madinah. Ketika bertemu seorang ibu dan anaknya yang sedang
kelaparan, Umar sendiri yang pergi mengambil makanan. Ia sendiri juga yang
memanggulnya, mengaduknya, memasaknya dan menghidangkannya untuk anak-anak itu.

Ketika
kelaparan mencapai puncaknya Umar pernah disuguhi remukan roti yang dicampur
samin. Umar memanggil seorang badui dan mengajaknya makan bersama. Umar tidak menyuapkan
makanan ke mulutnya sebelum badui itu melakukannya terlebih dahulu. Orang badui
sepertinya sangat menikmati makanan itu. “Agaknya Anda tidak pernah merasakan
lemak?” tanya Umar.

“Benar,”
kata badui itu. “Saya tidak pernah makan dengan samin atau minyak zaitun. Saya
juga sudah lama tidak menyaksikan orang-orang memakannya sampai sekarang,”
tambahnya.




Mendengar
kata-kata sang badui, Umar bersumpah tidak akan makan lemak sampai semua orang
hidup seperti biasa. Ucapannya benar-benar dibuktikan. Kata-katanya diabadikan
sampai saat itu, “Kalau rakyatku kelaparan, aku ingin menjadi orang pertama
yang merasakannya. Kalau rakyatku kekenyangan, aku ingin jadi orang terakhir
yang menikmatinya.”

Padahal
saat itu Umar bisa saja menggunakan fasilitas Negara. Kekayaan Irak dan Syam
sudah berada ditangan kaum Muslimin. Tapi tidak. Umar lebih memilih makan
bersama rakyatnya.

Pada
kesempatan lain, Umar menerima hadiah makanan lezat dari Gubernur Azerbeijan,
Utbah bin Farqad. Namun begitu mengetahui makanan itu biasanya disajikan untuk
kalangan elit, Umar segera mengembalikannya. Kepada utusan yang mengantarkannya
Umar berpesan, “Kenyangkanlah lebih dulu rakyat dengan makanan yang biasa Anda
makan.”

Sikap
seperti itu tak hanya dimiliki Umar bin Khattab. Ketika mendengar dari Aisyah
bahwa Madinah tengah dilanda kelaparan. Abdurrahman bin Auf yang baru pulang
dari berniaga segera membagikan hartanya pada masyarakat yang sedang menderita.
Semua hartanya dibagikan.

Ironisnya,
sikap ini justru amat jauh dari para pejabat sekarang. Penderitaan demi
penderitaan yang terus melanda bangsa ini, tak meyadarkan mereka. Naiknya harga
kebutuhan pokok sebelum harga BBM naik dan meningkatnya jumlah orang-orang
miskin, tak menggugah hati mereka. Bahkan, perilaku boros mereka kian marak.

Anggota
Dewan yang ditunjuk rakyat sebagai wakil, justru banyak yang berleha-leha.
Santai dan mencari aman. Pada saat yang sama, para pejabat yang juga dipilih
langsung, tak pernah memikirkan rakyat. Yang ada dalam benak mereka , bagaimana
bisa aman selama lima tahun ke depan.

Mereka yang
dulu vocal mengkritik para pejabat korup dan zalim, justru kini diam. Ia takut
kalau kursi yang saat ini didudukinya lepas. Sungguh jauh beda dengan Abu Dzar
al-Ghifari, seorang sahabat Rasulullah saw. Ketika suatu saat dia cukup pedas
mengkritik para pejabat di Madinah, Ustman bn Affan memindahkannya ke Syam agar
tak muncul konflik. Namun, ditempat inipun ia melakukan kritik tajam pada
Muawiyah bin Abu Sufyan agar menyantuni fakir miskin.

Muawiyah
pernah mengujinya dengan mengirimkan uang. Namun ketika esok harinya uang itu
ingin diambilnya kembali, ternyata Abu Dzar telah membagikannya pada fakir
miskin.

Sesungguhnya,
negeri kita ini tidak miskin. Negeri kita kaya. Bahkan teramat kaya. Tapi
karena tidak dikelola dengan baik, kita menjadi miskin. Negeri kita kaya, tapi
karena kekayaan itu hanya berada pada orang-orang tertentu saja, rakyat menjadi
miskin. Kekayaan dimonopoli oleh para pejabat, anggota parlemen dan para
pengusaha tamak.

Di tengah
suara rintihan para pengemis dan orang-orang terlantar, kita menyaksikan para
pejabat dan orang-orang berduit dengan ayik melancong ke berbagai negari.
Mereka seolah tanpa dosa menghambur-hamburkan uang dengan membeli barang serba
mewah.

Ditengah
gubuk-gubuk reot penuh tambalan kardus bekas, kita menyaksikan gedung-gedung
menjulang langit. Diantara maraknya tengadah tangan-tangan pengemis,
mobil-mobil mewah dengan santainya berseleweran. Pemandangan kontras yang
selalu memenuhi hari-hari kita.

Dimasa Umar
bin Abdul azis, umat islam pernah mengalami kejayaan. Kala itu sulit mencari
mustahiq (penerima) zakat. Mereka merasa sudah mampu, bahkan harus mengeluarkan
zakat. Mereka tidak terlalu kaya. Tapi, kekayaan dimasa itu tidak berkumpul
pada orang-orang tertentu saja.

Disinilah
peran zakat, infak dan shadaqah. Tak hanya untuk ‘membersihkan’ harta si kaya,
tapi juga menuntaskan kemiskinan.

Jika ini
tidak kita lakukan, kita belum menjadi mukmin sejati. Sebab, seorang Mukmin
tentu takkan membiarkan tetanggana kelaparan. Rasulullah saw bersabda, “Tidak
beriman seseorang yang dirinya kenyang, sementara tetangganya kelaparan.” (HR.
Muslim)

 

Source
:
http://www.kisahinspirasi.com/2012/09/umar-dan-keprihatinannya-pada-rakyat.html