Nabi Musa Hidup Pada Zaman Raja Fir’aun

Nabi Musa hidup pada zaman raja
yang terkenal kejam, yaitu Fir’aun. Dengan kaumnya yang disebut Bani Israil,
Fir’aun sangatlah berkuasa pada zamannya dan tidak percaya pada Allah SWT
hingga diutuslah Nabi Musa AS untuk menyadarkan Bani Israil waktu itu.

Berikut ini adalah cerita singkat
mengenai kisah Nabi Musa hidup pada zaman raja Fir’aun dan diasuh oleh keluarga
Fir’aun.

 

Sumber Gambar : www.detik.com

Nabi Musa Hidup Pada Zaman
Raja Fir’aun yang Dikenal Kejam

Nabi Musa dan Nabi Harun diutus
Allah untuk memimpin kaum Israel ke jalan yang benar. Beliau merupakan anak
Imran dan Yukabad binti Qahat, dan bersaudara dengan Nabi Harun, dilahirkan di
Mesir pada pemerintahan Ramses Akbar sang Firaun.

Pada masa kelahiran Musa, Firaun
membuat peraturan untuk membunuh setiap bayi laki-laki yang lahir. Tindakan itu
diambil karena dia sudah terpengaruh oleh paranormal kerajaan yang menafsirkan
mimpinya. Firaun bermimpi Mesir terbakar dan penduduknya mati, kecuali kaum
Israel, sedangkan paranormalnya mengatakan kekuasaan Fir’aun akan jatuh ke
tangan seorang laki-laki dari bangsa Israel. Karena cemas, dia memerintahkan
setiap rumah digeledah dan jika menemukan bayi laki-laki, maka bayi itu harus
dibunuh.

Yukabad melahirkan seorang bayi
laki-laki (Musa), dan kelahiran itu dirahasiakan. Karena risau dengan
keselamatan Musa, akhirnya Musa dihanyutkan ke Sungai Nil ketika berusia 3
bulan. Kemudian Musa ditemukan oleh Asiyah istri Firaun, yang sedang mandi dan
kemudian membawanya ke istana. Melihat istrinya membawa seorang bayi laki-laki,
Firaun ingin membunuh Musa. Istrinyapun berkata: “Jangan membunuh anak ini
karena aku menyayanginya. Lebih baik kita mengasuhnya seperti anak kita sendiri
karena aku tidak mempunyai anak.” Dengan kata-kata dari istrinya tersebut,
Firaun tidak sampai hati untuk membunuh Musa.

Kemudian istri Firaun mencari
pengasuh, tetapi tidak seorang pun yang dapat menyusui Musa dengan baik, dia
menangis dan tidak mau disusui. Selepas itu, ibunya sendiri mengajukan diri
untuk mengasuh dan membesarkannya di istana Firaun. Diceritakan dalam Al-Quran:
“Maka Kami kembalikan Musa kepada ibunya supaya senang hatinya dan tidak
berduka cita dan supaya dia mengetahui janji Allah itu benar, tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahuinya.”

Pada suatu hari, Firaun memangku
Musa yang masih kanak-kanak, tetapi tiba-tiba janggutnya ditarik Musa hingga
dia kesakitan, lalu berkata: “Wahai istriku, mungkin anak inilah yang akan
menjatuhkan kekuasaanku.” Istrinya berkata: “Sabarlah, dia masih
anak-anak, belum berakal dan belum mengetahui apa pun.” Sejak berusia tiga
bulan hingga dewasa Musa tinggal di istana itu sehingga orang memanggilnya Musa
bin Firaun. Nama Musa sendiri diberi keluarga Firaun. “Mu” berarti
air dan “sa” adalah tempat penemuannya di tepi sungai Nil.

Musa mendapat julukan Kalimullah
yang artinya orang yang diajak bicara oleh Allah. Bahkan tidak jarang dia
berdialog dengan Allah, dialog antara seorang hamba yang sangat dekat dengan
Sang Kekasih Yang Maha Pengasih. Namun, melihat julukan yang diberikan oleh
Allah pada diri Musa, tampaknya Musa memang satu-satunya Nabi yang memperoleh
keistimewaan itu.

Pada satu peristiwa Musa meninjau
sekitar kota dan kemudian beliau melihat dua laki-laki sedang berkelahi, yang
seorang dari kalangan Bani Israel bernama Samiri dan seorang lagi bangsa Mesir,
bernama Fatun. Melihat perkelahian itu, Musa mau melerai mereka, tetapi ditepis
Fatun. Tanpa sengaja Musa lalu mengayunkan satu batu ke atas Fatun, dan Fatun
tersungkur kemudian meninggal dunia.

Ketika laki-laki itu meninggal
dunia karena tindakannya, Musa memohon ampun kepada Allah seperti dinyatakan
dalam al-Quran: “Musa berdoa: Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku telah
menganiayai diriku sendiri karena itu ampunilah aku. Maka Allah mengampuninya,
sesungguhnya Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Tetapi, tidak lama kemudian orang
banyak mengetahui kematian Fatun disebabkan Musa dan berita itu disampaikan
kepada pemimpin kanan Firaun. Akhirnya mereka akan menangkap Musa. Karena
terdesak, Musa mengambil keputusan keluar dari Mesir. Beliau berjalan tanpa
arah dan tujuan, akhirnya, beliau sampai di kota Madyan, yaitu kota Nabi
Syu’aib di timur Semenanjung Sinai dan Teluk Aqabah di selatan Palestina.

Musa tinggal di rumah Nabi
Syu’aib beberapa lama, kemudian menikah dengan anak gadisnya bernama Shafura.
Selepas menjalani kehidupan suami istri di Madyan, Musa meminta izin Syu’aib
untuk pulang ke Mesir. Dalam perjalanan itu, akhirnya Musa dan isterinya tiba
di Bukit Sinai. Dari jauh, beliau melihat api, lalu terpikir ingin
mendapatkannya untuk dijadikan obor penerang jalan. Musa meninggalkan istrinya
sebentar untuk mendapatkan api itu. Sampai di tempat api menyala itu, beliau
menemukan api menyala pada sebatang pohon, tetapi tidak membakar pohon
tersebut. Ini membingungkannya dan ketika itu beliau mendengar suara wahyu
daripada Tuhan: “….Wahai Musa sesungguhnya Aku Allah, yaitu Tuhan
semesta alam.”

Kemudian Allah berfirman lagi:
“Dan lemparkan tongkatmu, kemudian tongkat itu menjadi ular, Musa mundur
tanpa menoleh. Wahai Musa datanglah kepada-Ku, janganlah kamu takut, sungguh
kamu termasuk orang yang aman.” Tongkat menjadi ular dan tangan putih
berseri-seri itu adalah dua mukjizat yang dikurniakan Allah kepada Musa.

Firaun cukup marah mengetahui
kepulangan Musa yang mau membawa ajaran lain, sehingga Firaun memanggil semua
ahli sihir untuk mengalahkan dua mukjizat Musa. Ahli sihir Firaun masing-masing
mengeluarkan keajaiban, ada antara mereka melempar tali lalu menjadi ular.
Namun, semua ular yang dibawa ahli sihir itu ditelan ular besar yang berasal
dari tongkat Musa.

Firman Allah: “Dan
lemparkanlah apa yang ada di tangan kananmu, pasti ia akan menelan apa yang
mereka buat. Sesungguhnya apa yang mereka buat itu hanya tipu daya tukang sihir
dan tidak akan menang tukang sihir itu dari mana saja ia datang.”

Semua keajaiban ahli sihir itu
dihancurkan Musa menggunakan dua mukjizat tersebut. Hal ini menyebabkan
sebagian pengikut Firaun, termasuk istrinya mengikuti ajaran yang dibawa Musa.
Hal ini membuat Firaun marah, sehingga menghukum mereka semua.

Nabi Musa bersama orang beriman
terpaksa melarikan diri sehingga mereka sampai di Laut Merah. Namun, Firaun dan
tentaranya yang sudah marah, mengejar mereka dari belakang, akhirnya Firaun dan
pengukitnya (tentaranya) mati tenggelam di dasar Laut Merah.

Al-Quran menceritakan: “Dan
ingatlah ketika Kami belah laut untukmu, lalu Kami selamatkan kamu dan Kami
tenggelamkan Firaun dan pengikutnya sedang kamu sendiri menyaksikan.”

 

Nabi Musa Hidup Pada Zaman
Raja Fir’aun dan Menerima Kitab Taurat

Selepas keluar dari Mesir, Nabi
Musa bersama sebagian pengikutnya dari kalangan Bani Israel menuju ke Bukit
Sina untuk mendapatkan kitab Allah. Namun, sebelum itu Musa disyaratkan
berpuasa. Sewaktu bermunajat, Musa berkata: “Ya Tuhanku, nampakkanlah zat-Mu
kepadaku supaya aku dapat melihatMu.” Allah berfirman: “Engkau tidak
akan sanggup melihatKu, tetapi coba lihat bukit itu. Jika ia tetap berdiri
tegak di tempatnya seperti sediakala, maka niscaya engkau dapat
melihatku.” Musa terus memandang ke arah bukit yang dimaksudkan itu dan
dengan tiba-tiba bukit itu hancur. Musa terperanjat dan gementar seluruh
tubuhnya lalu pingsan.

Ketika sadar, Musa terus
bertasbih dan memuji Allah, sambil berkata: “Maha besarlah Engkau ya
Tuhan, ampuni aku dan terimalah taubatku dan aku akan menjadi orang pertama
beriman kepadaMu.” Sewaktu bermunajat, Allah menurunkan kepadanya kitab Taurat.
Menurut ahli tafsir, kitab itu berbentuk kepingan batu atau kayu, namun padanya
terperinci segala panduan ke jalan yang diredhai Allah.

Sebelum Musa pergi ke bukit itu,
beliau berjanji kepada kaumnya tidak akan meninggalkan mereka lebih dari 30
hari. Tetapi Nabi Musa tertunda 10 hari, karena terpaksa mencukupkan 40 hari
puasa. Bani Israel kecewa karena Musa tidak segera kembali kepada mereka.
Ketiadaan Musa membuat mereka seolah-olah dalam kegelapan dan ada antara mereka
berpikir keterlaluan dengan menyangka beliau tidak akan kembali lagi. Dalam
keadaan tidak menentu itu, seorang ahli sihir dari kalangan mereka bernama
Samiri mengambil kesempatan menyebarkan perbuatan syirik. Dia juga mengatakan
Musa tersesat dalam mencari tuhan dan tidak akan kembali. Ketika itu juga,
Samiri membuat sapi betina dari emas. Dia memasukkan segumpal tanah, dan patung
itu dijadikan Samiri bersuara. Kemudian Samiri berseru: “Wahai
kawan-kawanku, rupanya Musa sudah tidak ada lagi dan tidak ada gunanya kita
menyembah Tuhan Musa itu. Sekarang, mari kita sembah anak sapi yang terbuat
dari emas ini. Ia dapat bersuara dan inilah tuhan kita yang patut
disembah.”

Selepas itu, Musa kembali dan
melihat kaumnya menyembah patung anak sapi. Beliau marah dengan tindakan
Samiri. Firman Allah: “Kemudian Musa kembali kepada kaumnya dengan marah
dan bersedih hati. Berkata Musa: wahai kaumku, bukankah Tuhanmu menjanjikan
kepada kamu suatu janji yang baik. Apakah sudah lama masa berlalu itu bagimu
atau kamu menghendaki supaya kemurkaan Tuhanmu menimpamu, karena itu kamu
melanggar perjanjianmu dengan aku.”

Musa bertanya kepada Samiri,
seperti diceritakan dalam al-Quran: “Berkata Musa; apakah yang mendorongmu
berbuat demikian Samiri, Samiri menjawab: Aku mengetahui sesuatu yang mereka
tidak mengetahuinya, maka aku ambil segenggam tanah (bekas tapak Jibril) lalu
aku masukkan dalam patung anak sapi itu. Demikianlah aku menuruti dorongan
nafsuku.”

Kemudian Musa berkata:
“Pergilah kamu dan pengikutmu dariku, patung anak sapi itu akan aku bakar
dan lemparkannya ke laut, sesungguhnya engkau akan mendapat siksa.”

 

Nabi Musa Hidup Pada Zaman
Raja Fir’aun : Bertemu dengan Khidir

Ditengah-tengah kutbah Musa
dihadapan Bani Israil, ada salah seorang yang bertanya kepada Musa, dengan
pertanyaannya, apakah ada manusia yang paling pandai saat ini. Musa hanya
menjawab dialah orang yang pandai dimuka bumi ini. Dengan pernyataan Musa
inilah Allah Maha Mendengar siapa yang berkata baik dengan diucapkan maupun
tidak. Allah langsung menegur Musa dengan firmanNya,” Wahai Musa, Aku
mempunyai hamba yang lebih pandai dari kamu” Setelah Musa mendapat teguran
Allah, dia sangat terkejut dan dengan tunduk berkata,” Dimanakah kami
dapat bertemu hambaMu yang lebih pandai dari aku”. Kemudian Allah
menjawab,” Hamba-Ku bisa ditemui disuatu tempat yang disebut Majma Al
Bahrain”. Dari sinilah awal pencarian Musa untuk bertemu hamba Allah yang
lebih pandai darinya yang kita kenal dengan Nabi Khidir.

 

Cerita selengkapnya bisa Anda
baca di website p2k.utn.ac.id. Semoga kisah singkat Nabi Musa hidup pada zaman
raja yang kejam ini bisa kita ambil hikmah kebaikannya bagi kehidupan kita.