Refleksi Pembelajaran Pengetahuan Nukilan Jiwa

Tulisan
ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari pembelajaran saya tentang Pengetahuan
Jiwa yang dipandu oleh Duma Rachmat. Siapa itu Duma Rachmat? Anda bisa cari
tahu sosok beliau di instagram ya.

Yanda
Duma ini, sapaan akrab beliau karena tidak mau disebut guru, membawakan sesuatu
ilmu yang berbeda menurut saya. Kalau dalam psikologi mengenal diri banyak
konsep mengenai bebagai hal berkaitan dengan mental health, nah dari beliau ini
akhirnya saya berhasil menemukan sesuatu yang klik. Itulah yang kita sebut
dengan jiwa.

Berangkat
dari keresahan saya selama ini yang merasakan perbedaan dengan orang lain.
Mengapa mereka bisa seperti ini dan saya tidak, mengapa mereka bertindak
seperti ini dan saya tidak. Saking diri saya merasa aneh saya pun merasa
terasing dan akhirnya menarik diri dari pergaulan.

Nah
dalam mengenal jiwa ini saya pun sedikit demi sedikit mulai memahami siapa sih
sejatinya diri saya? Saya ingin ini dan itu tetapi diri saya menolak. Seakan
ada paradoks di dalam diri yang belum selesai dan menjadi tidak selaras.
Pikiran, perasaan, dan tindakan saya pun tidak sinkron.

Mungkin
Anda juga pernah atau sedang mengalami hal ini?

 

Sekilas
Pengetahuan Jiwa

Saya
pernah sedikit menyinggung pengetahuan tentang jiwa ini dalam artikel
sebelumnya. Tentang emosi dan perasaan yang dimiliki, itu sebenarnya adalah
pakaian jiwa, artinya bukan jiwa itu sendiri.

Mengapa
saya menjadi tertarik dengan pengetahuan jiwa ini?

Perjalanan
hidup yang cukup ramai dengan hiruk pikuk aksesoris dunia ini kadang membuat
saya muak. Saya pernah punya uang cukup banyak (setidaknya banyak menurut saya)
tapi saya tidak bisa memolih membelanjakannya begitu saja untuk kebutuhan diri
saya sendiri. Saya lebih banyak habiskan untuk keluarga dan orang-orang
disekitar saya. Tapi dilain waktu saya melihat teman bisa memiliki ini dan itu
apakah saya iri? Ya, jelas. Dan saya malah menyalahkan orang lain yang gemar
memakan uang saya. Padahal itu adalah pilihan tindakan saya. Bukan salah
mereka.

Penerimaan
itu sebenarnya saya sadari setelah saya pelan-pelan belajar mengenal siapa sih
diri saya?

Ketika
saya iri dengan pencapaian orang lain, bisa bekerja bolak balik ke luar negeri,
bisa beli mobil bagus, beli rumah bagus, saya membayangkan bagaimana jika saya
mendapatkan kesempatan yang sama. Apakah hal itu yang benar-benar saya
inginkan? Atau saya hanya merasa silau saja.

Saya
bayangkan jika saya punya uang banyak, saya renungkan kembali. Lagi-lagi saya
terbersit dengan orang-orang yang masih membutuhkan bantuan dibandingkan
menuruti ego pribadi. Saya sebut itu ego pribadi karena sejatinya manusia itu
hanya butuh papan, pangan, dan sandang secara sederhana. Jika sudah dilengkapi
dengan merk dan fasilitas tersier lainnya maka itu sudah masuk dalam ego.

Jadi
untuk bisa mengetahui jiwa itu harus mengalami dulu. Karena pengetahuan jiwa
bukan lah teori yang bisa digeneralisasi.

 

Pengetahuan
Nukilan Jiwa

Jiwa
itu bisa melahirlan sejuta fenomena. Oleh karena itu, setiap diri kita menjadi
unik dan berbeda. Karakter dan pilihan tindakan kita bisa berbeda.

Agak
tenang dengan adanya pengetahuan jiwa jni jadinya. Karena keresahan saya
mengapa saya merasa aneh dan berbeda dengan orang lain akhirnya terjawab.
Mungkin orang lain juga merasakan hal yang sama, hanya saja tak terungkapkan.

Sedikit
ingin saya bagikan pemahaman saya mengenai pengetahuan nukilan jiwa ini
berdasarkan pembelajaran dari Yanda Duma sebelum masuk dalam refleksi
pengaplikasian dalam hidup.

Nukilan
itu apa sih? Nukilan adalah warisan. Jadi pengetahuan nukilan jiwa menurut
pemahaman saya adalah ilmu tentang jiwa yang diperoleh dari pengalaman-pengalaman
guru-guru atau orang yang sudah selesai mengenal jiwanya.

Jadi
nukilan jiwa bukan lah berdasarkan pengalaman diri sendiri. Namun nukilan jiwa
dibutuhkan untuk menjawab fenomena-fenomena yang biasa terjadi.

Saya
sendiri menyebutnya mengenal jiwa yang berpola. Jadi misalkan kita bermimpi
atau mengalami suatu kejadian yang mirip dialami oleh orang sebelumnya (yang
sudah selesai mengenal jiwa) maka bisa kita gunakan untuk menjawab fenomena
yang baru saja kita alami.

Meski
pada akhirnya setiap diri kita akan memiliki pengalaman yang berbeda-beda. Tapi
perlu juga mengetahui apa sih pengetahuan jiwa yang diwariskan itu.

Pengetahuan
nukilan jiwa ini bertentangan juga dengan pengetahuan jiwa itu sendiri yang
menyatakan bahwa dibutuhkan pengalaman untuk bisa mengenal jiwa itu sendiri.

Anda
tidak perlu bingung karena nukilan jiwa ini bisa kita pakai sebagai tanda dalam
mengenal jiwa itu sendiri.

 

Refleksi
Pengetahuan Nukilan Jiwa

Untuk
lebih jelasnya dalam memahaminya saya akan berikan satu contoh keresahan saya.
Jadi selama ini saya merasa iri dengan orang-orang yang memiliki orangtua
sempurna. Apa sih orangtua yang sempurna menurut saya? Ya, yang bisa menjadi
contoh dan pelindung bagi anak-anaknya. Sesuatu yang tidak saya dapatkan.

Contohnya,
saat anak perempuan menikah lebih banyak mereka masih menjadi tanggungan
orangtuanya, diberi masukan konsep nikahan yang baik bagaimana, dibayarin, ya
kan. Nah, saya gak dapat semua itu. Setelah menikah, anak perempuan biasanya
punya anak, meski dia kerja kantoran tapi gak perlu khawatir kan ada orangtua
yang bisa bantuin momong, bisa dititipin gitu. Saya pun tidak memilikinya
karena orangtua saya dan suami sudah meninggal semua. Jadi saya pun mikir-mikir
lagi kalau mau punya anak, apakah saya bisa bertanggungjawab sepenuhnya? Apakah
saya bisa tanpa bantuan orangtua?

Namun
ternyata, apa yang menjadi keresahan saya itu cuma ketakutan yang tidak
terbukti. Apakah mereka yang masih punya orangtua tidak memikirkan apa-apa
ketika mau menikah atau punya anak? Jawaban seorang anak perempuan yang berani
memiliki anak meski memiliki orangtua yang sempurna ini saya peroleh dari
cerita Raisa Andriana. Iya, Raisa yang itu, yang nyanyi Mantan Terindah.
Hehehe… Raisa mengatakan bahwa memiliki anak itu cukup menantang karena
berkaitan dengan bagaimana dia bisa bertanggungjawab dalam mengasuh dan
membesarkan anaknya. Karena meski memiliki ibu yang bisa kapan saja membantu
tetapi setiap ibu itu pasti punya pengalamannya masing-masing. Perlu
digarisbawahi ini ya, punya pengalaman masin-masing.

Jadi
kesimpulan saya, orangtua yang bisa mewariskan pengetahuannya dalam membesarkan
anak itu hanya akan menjadi pengetahuan saja, selebihnya pengalaman itu adalah
milik anak perempuannya yang kini telah menjadi ibu. Kalau begitu, saya tidak
perlu lagi resah karena pengetahuan bisa saya dapatkan dengan mudah saat ini,
bisa cari diinternet dan sosmed dari para dokter kandungan atau pengalaman
orang-orang.

Fenomena
keresahan yang saya alami ini hanya contoh nyata saja kenapa belajar mengenal
jiwa itu menjadi penting.

Lalu
apa sih goal atau tujuan dari mengenal jiwa? Tandanya apa kalau sudah mengenal
jiwa?

Jika
penasaran akan saya review lagi setelah pembelajaran selanjutnya bersama Yanda
Duma Rachmat. Saya juga berencana mengabadikan pengetahuan jiwa bersama Yanda
Duma di blog ini agar bisa bermanfaat bagi banyak orang sebagai wujud syukur
atas jiwa yang Allah hadirkan pada raga kita.