Social Distancing Tidak Hanya Untuk Mengurangi Penyebaran Virus Corona Lho, Tapi Juga Bisa Untuk Kesehatan Mental

Social Distancing adalah istilah yang digunakan sebagai upaya pemerintah utk mengambil kebijakan agar masyarakat mengurangi interaksi sosialnya dikarenakan Covid-19 aka Virus Corona.

Di dalam artikel ini, saya tidak akan membahas bagaimana social distancing ini berdampak pada penularan virus corona. Namun meminjam istilah yang digunakan saat ini bagaimana itu berfungsi juga untuk menjaga kesehatan mental kita.

Cukup menarik sedikit mengambil istilah ini untuk kebijakan kesehatan mental diri kita sendiri. Bagaimana analogi social distancing bila diterapkan untuk mengatasi rasa depresi seseorang atau gangguan kesehatan mental lainnya.

Social Distancing di Indonesia

Ingat bahwa apapun kondisi mental Anda saat ini adalah penting. Bukan suatu kelemahan apalagi hal yang memalukan ketika kita bisa terbuka membicarakan apa yang diri kita rasakan. Ingatlah kita terlahir tidak untuk menyenangkan semua orang.
Social distancing ini bisa digunakan juga untuk terapi dalam mengendalikan kondisi kesehatan mental kita.

karena apa?

Karena mulai banyak penyakit yang sebenarnya itu bermula dari diri sendiri, dari ego, dari luka batin, dari depresi, kekecewaan, kegagalan, rasa cemas berlebihan, dll.

Diri kita bisa terganggu mentality healthnya karena faktor eksternal dan internal. Faktor internal bisa karena memang kita memiliki sifat yang cenderung sensitif. Faktor eksternal ini yang banyak sekali dan pengaruhnya juga lebih besar.

Nah anggap saja virus corona ini seperti faktor eksternal tersebut, bisa berupa perkataan negatif orang lain, selalu menghakimi atas perbuatan orang lain yang belum tentu kebenarannya, dan sifat jelousy atau iri dengan kebahagiaan atau kesuksesan orang lain. Sebenarnya ini lebih mematikan daripada si virus corona itu sendiri. Karena orang yang terkena dampaknya bisa menderita mentality health yang cukup lama dan parah. Saya pernah bahas di artikel sebelumnya tentang bagaimana cara mengatasi trauma penyesalan masa lalu luka yang kelam, di situ saya jelaskan juga bagaimana luka batin ini seringkali kita perlakukan hingga bisa menjadi luka yang lama dan semakin dalam.

Tanpa kita sadari kita tumbuh dalam lingkungan keluarga dan masyarakat yang memiliki norma-norma yang ketat. Di Indonesia, khususnya masyarakat Jawa, unggah ungguh atau tata krama itu menjadi hal yang sangat penting. Bagaimana Anda harus selalu mengalah dan bersikap sopan santun terhadap orang yang lebih tua, tanpa peduli siapa yang salah dan benar. Bagaimana Anda harus hidup dengan standar yang telah orang tua tanamkan dalam diri kita sejak dini. Contoh sederhana,”kamu akan bikin bangga bapak dan ibu kalau kamu bisa masuk sekolah favorit itu”. Atau ,”kamu akan bikin kami bahagia kalau kamu bisa masuk sekolah yang bagus dan mendapatkan beasiswa”. Dan tanpa disadari itu selalu tentang kebahagiaan orang lain, bukan diri kita.

Ketika kita dewasa kita pun tumbuh dengan norma-norma kehidupan yang mereka terapkan pada diri kita. Seolah untuk menyenangkan mereka menjadi sebuah tuntutan. Tanpa mereka bertanya pada kita apa yang sebenarnya kita sukai? Apa yang sebenarnya ingin kita raih dalam hidup ini?

Seorang anak yang dari kecil bisa memiliki nilai bagus di sekolahnya, bisa melanjutkan sekolah favorit sesuai kebanggan orang tuanya, bisa kuliah di universitas terbaik di Indonesia, dan akhirnya dia bisa bekerja pada salah satu perusahaan besar yang bisa memperoleh pendapatan cukup besar setiap bulannya, tapi dia akhirnya merasa tidak bahagia.

Apakah Anda salah satunya? Apa Anda juga pernah mengalaminya?

Dan kita pun menjalani kehidupan yang menurut orang lain baik, menurut orang lain kita sukses, menurut orang lain kita kaya. Tanpa peduli apa yang kita rasakan saat melewati setiap prosesnya.

Apa yang sebenarnya kita harapkan dari hidup kita? Membuat semua orang bahagia dan mengenyampingkan kebahagiaan diri kita?

Mulai sekarang ubah kehidupan kita. Karena kita adalah pemeran utamanya, bukan orang lain. Berbaik hatilah pada diri sendiri, baru kebaikan akan terpancar dengan sendirinya dari diri kita. Jangan ada penyesalan yang membuat keikhlasan hati kita terkikis perlahan.

Social distancing ini cocok diterapkan untuk menghindari orang-orang dengan kecenderungan membawa dampak negatif bagi kehidupan diri kita. Orang-orang yang tidak bisa menjaga relationship dengan baik.

Tidak jarang masalah itu muncul hanya dalam lingkup keluarga saja. Bagaimana ini bisa terjadi? Idealnya keluarga adalah tempat ternyaman dan aman bagi kita. Tapi saya sendiri menemukan diri saya malah insecure berada di dalam keluarga ini. Seperti masalah itu tidak ada habis-habisnya. Mungkin memang ada masalah di luar keluarga tapi selalu topik yang mendominasi adalah keluarga.

Dan herannya permasalahan yang muncul tidak pernah jauh dari relationship itu sendiri dan faktor ekonomi tentunya.
Social distancing menjadi perlu dilakukan, bahkan itu terhadap keluarga kita sendiri. Jika memang itu sangat mengganggu kesehatan mental kita. Kita tidak berdosa menjaga jarak dengan orang lain untuk sementara waktu.

Seperti social distancing yang dilakukan untuk mencegah penularan virus corona. Orang-orang yang terkena virus diisolasi dan dilarang berhubungan dengan orang luar. Begitu pun sebaliknya, yang belum kena virus juga harus mawas diri, menjaga diri sendiri, caranya dengan mengurangi interaksi secara langsung dengan orang lain. Upaya ini dianggap untuk saling menjaga. Jadi stay safe juga ya untuk kesehatan mental kita.

Hubungan social distancing dengan doktrin kehidupan orang lain pada diri kita adalah ketika kita mampu membuat keputusan untuk menjaga jarak relationship dengan siapa saja.

Saya pernah membahas bagaimana seharusnya circle dalam suatu relationship, baik untuk keluarga maupun teman. Baca juga artikel Berdamai dengan Diri Sendiri

Kuncinya adalah kenali diri sendiri, apa yang diri kita rasakan, dan siapa yang sebenarnya selalu mendukung kita. Dukungan itu tidak seharusnya diberikan dengan paksaan, bahkan penilaian kegagalan jika kita tak mencapai fase kehidupan tertentu.

Contohnya ketika ada pasangan suami istri yang lama mendambakan momongan, dan mereka menjadi bahan obrolan keluarga di setiap kesempatan yang ada. Bukan kah itu sangat mengganggu? Sebagian orang akan memberikan saran, sebagiannya akan bertanya apakah menunda, dan sebagian yang lain akan menertawakan dengan lelucon.

Dalam kasus seperti di atas, kita berhak memilih orang yang berada di dekat kita. Karena omongan mereka yang seperti virus, jika kita tanggapi akan menimbulkan hal negatif bagi diri kita sendiri. Jadi sudah seharusnya kita terapkan social distancing. Jujurlah pada diri sendiri, jangan memaksakan keadaan yang tidak membuat nyaman diri kita. Namun kita pun berhak memberikan opini kita jika dirasa perlu. Last opinion dan lihat reaksi mereka.

Kebijakan social distancing ini menjadi relevan ketika kita mengalami perasaan insecure terhadap faktor eksternal, entah itu orang, virus, kondisi, atau benda. Orang lain tidak memiliki hak terhadap hidupmu, bahkan orang tuamu. Terlepas dari balas budi yang mereka harapkan dari kita karena telah membesarkan kita. Biarkan Tuhan yang membalas kebaikan mereka. Your life is yours, so always being you is good.