Unforgettable Memories

 

Ingatanku tiba-tiba kembali pada masa lalu saat akan berangkat
ke Jakarta untuk magang di sebuah perusahaan swasta asing. Itulah pertama
kalinya aku pergi dengan kereta api Taksaka dari Jogjakarta menuju Jakarta.

Beruntung aku bisa merasakan naik kereta api eksekutif
Taksaka Jurusan Gambir Jakarta. Siapa lagi yang membelikan tiket yang menurutku
mahal, jika bukan pamanku yang tinggal di Jakarta. Pamanku yang selama ini
telah membiayai kuliahku di Jogja.

“Bel, yuk naik! Keretanya udah dateng tuh!”
Arista membuyarkan lamunanku yang sejak tadi memikirkan sesuatu.

“Eh iya.” Aku pun segera bergegas mengangkat
tas jinjing dan ranselku.

Aku berangkat dari Jogja dengan seorang teman kuliah
yang juga mengambil tempat magang di perusahaan itu. Namun lamunanku teringat
pada seorang sahabat yang tak lagi ada di sisi.

Banyak kata dalam benak ini yang ingin ku utarakan
padanya. Aku pun mulai berandai – andai. Seandainya masih dekat dengannya, aku
bisa menceritakan pengalaman ini kepadanya. Seandainya dia tidak menjauh pasti
aku sangat bahagia bertanya dia ingin oleh-oleh apa nanti. Dan tentunya pengalaman
dimana aku akan mulai memasuki dunia baru, yaitu dunia kerja.

Dia memilih untuk tidak sedekat biasanya denganku.
Jika bertanya mengapa, itu adalah pertanyaan yang tak kan pernah terjawab. Karena
aku telah sering mencoba bertanya.

Kenangan yang tak kan terlupa adalah saat duduk di
bangku SMA. Ketika aku mengenal seorang sahabat. Dia bernama Joya dan memiliki
karakter kebalikan dariku. Jika aku tomboy, dia lebih feminim. Jika aku mudah
marah, dia sebaliknya, hatinya terlalu lembut untuk bisa marah.

Menjelang kelulusan SMA aku sempat merasa sedih.
Karena waktuku dengan Joya semakin berkurang. Aku dan dia adalah teman sebangku
yang sejak kelas 2 duduk di meja tepat di hadapan meja guru. Banyak yang
menilai bahwa duduk di meja depan guru adalah sesuatu yang horor, menakutkan. Tapi
tidak bagiku dan Joya. Kami masih sempat ngobrol kok meski itu hanya dengan
kertas. Bahkan kami sediakan khusus buku obrolan kami kalau pas jam pelajaran.

“Beliaaa…” panggil Joya. Dia menghampiriku
dan bertanya, “kamu mau duduk semeja denganku di depan?”

Waktu itu aku adalah siswa pindahan dari kelas IPA ke
IPS. Padahal sudah dari kelas 1 aku memilih IPS tapi guruku memasukkan aku ke
jurusan IPA, katanya nilainya memenuhi syarat. Tapi tetap saja aku tidak suka
dengan Matematika dan Fisika. Menurutku itu rumit dan membuatku lapar setiap
kali mengerjakan soal-soalnya.

“Bel, tahu nggak, aku udah ngomong lho sama ibuku
kalau ganti teman duduk.” Joya bercerita dengan semangat. Sebelum aku
pindah ke IPS dia sebangku dengan Indah dan duduk di barisan belakang.

“Oya…trus ibumu bilang apa? Nggak dimarahin kan
tentang nilai kemarin yang sudah keluar?” tanyaku.

“Enggak lah, justru ibuku bilang nilaiku jadi naik
setelah ganti teman duduk.”

Aku pun ikut bahagia mendengarnya. Setiap hari bagiku sangat
berwarna karena aku bisa mendengarnya bercerita. Meski itu kejadian sehari-hari
yang biasa tapi itu menjadi memory yang membekas. Memory yang manis.

“Ya, bentar lagi kita lulus nih! Kamu sedih
nggak?” Aku bertanya pada Joya karena ingin menyampaikan sesuatu.

“Iya nih, kita bakal jarang cerita-cerita lagi Bel.
Eh tapi kamu pernah janji kan ada satu cerita yang belum kamu ceritakan, yang
katanya kamu mau cerita kalau udah mau lulus itu. Kenapa sih?”

“Emm..itu ya” aku ragu-ragu mau
mengatakannya. “Ntar deh habis pensi aku cerita. Aku siapin hati dulu buat
cerita.” Dan Joya pun terlihat kesal mendengar jawabanku.

Setelah pensi aku menepati janjiku untuk bercerita
padanya. Kami berdua duduk di kelas, di bangku kami, sedangkan teman-teman yang
lain memilih melihat pensi atau di kantin. Aku sengaja memilih tempat yang sepi.

“Joya, makasih ya kamu mau dengerin ceritaku.
Kamu orang pertama yang aku ceritain. Sebenarnya selama ini aku nggak ijinin kamu
main ke rumahku karena bapak ibuku tidak seperti keluargamu. Ibuku sakit lumpuh
karena dulu punya penyakit tumor otak dan harus dioperasi. Itulah kenapa aku
tinggal sama nenek. Tiap malam minggu atau liburan aku nginap di sana. Tapi
sejak SMP ada kejadian yang mengganjal ketika aku lihat bapak lebih sering pergi
dengan seorang perempuan lain. Aku tidak benci dengan ibuku yang sakit, tapi
aku kesal sama bapakku. Kenapa dia seperti memanfaatkan keadaan ibuku yang sakit
dan percaya sama bapak. Trus juga aku pernah lihat ada alat suntik dan
obat-obatan kayak narkoba gitu di kamar bapak. Waktu itu aku takut untuk
ngomong ke bapak. Tapi jatuhnya aku malah semakin membencinya. Kadang aku
bingung harus gimana.”

Joya mendengarkan dengan sabar dan aku melihat air
matanya pun menetes. “Harusnya kamu bilang dari awal sama aku. Kamu harus
cerita biar bebanmu berkurang. Makanya beberapa kali dulu waktu kelas 1 aku lihat
kamu masuk ke ruang BK.”

“Iya waktu itu aku udah nggak kuat, jadi aku
cerita deh sama guru BK.”

Joya tiba-tiba memelukku dan berkata, “Aku suka
waktu kamu bilang berbagi suka dan duka. Rasanya ingin seperti itu selamanya.”

Air mataku pun menetes saat tersadar kembali bahwa aku
sedang dalam perjalanan di kereta. Aku menengok ke samping dan melihat Arista
yang tertidur. Pikirku aman, nggak ketahuan kalau barusan nangis.

Aku membiarkan ingatanku kembali lagi pada masa itu.
Aku juga ingat Joya punya teman-teman dekat selain aku. Sedikit iri saat tahu
ada yang lebih lama bisa berteman dengan Joya. Mereka adalah teman-teman Joya
sejak SD.

“Bel, ntar kalau ada yang nyariin aku bilang aja
aku ketiduran ya.” Kemudian Joya menelungkupkan wajahnya ke meja.

Tidak lama teman-temannya datang dari kelas lain dan
berniat mengajak Joya keluar kelas. Aku bilang ke mereka kalau Joya ketiduran
sejak tadi. Dan teman-temannya pun pergi.

“Ya…Joya,  udah pada pergi tuh. Kamu kenapa sih?”

Joya menegakkan kepalanya dan bilang, “nggak
papa, males aja ikutan acara mereka, ngabis-ngabisin duit. Mereka tuh suka
pergi main dan belanja-belanja gitu. Aku kan nggak enak kalau harus ngikutin keinginan
mereka.”

Sedikit lega ketika tahu bahwa Joya sebenarnya tidak
nyaman berteman dengan mereka. Aku memang jarang main, malah cenderung nggak
pernah. Karena aku harus menghemat uang saku dari nenek. Bapakku jarang banget
kasih uang saku, bahkan bayar sekolah aja sering telat. Aku sering nggak enak
jika lewat ruang TU karena ada guru yang kenal dengan bapakku dan tahu bahwa
bapak kerja PNS. Entahlah aku pun tak tahu habis untuk apa penghasilan bapakku.

Tiba-tiba Arista terbangun dan membuyarkan lamunanku.
Dia mencoba mengambil tas jinjingnya dan mencari minum.

“Bel, pengen makan tapi makanan di kereta pasti
mahal ya?”

“Hemm…tenang aja, Ris. Aku bawa makan siang nih
buatmu juga.”

“Wahhh…makasih ya Bel.” Arista terlihat
sumringah mendapatkan jatah makan siangnya. Apalagi habis bangun tidur.

“Kamu nggak makan, Bel?”

“Nanti aja, masih kenyang soalnya.” Arista
tak tahu bahwa aku sedang kenyang mengingat masa lalu.

Di dalam perjalanan kereta ini aku tak lagi ingin
bertanya pada Joya tentang kenapa. Aku hanya ingin mengenang dan berkhayal
seandainya aku masih dekat dengannya aku pasti sudah chat dengannya dari tadi
sejak berangkat. Seperti yang kami lakukan dulu. Hampir 24 jam kami saling SMS dan
bercerita tentang banyak hal. Karena untuk bertemu itu harus menyediakan ongkos
transport dan pastinya juga jajan, setidaknya untuk beli minum. Cukup susah
waktu itu.

Sambil menikmati makanan siangnya, Arista tak banyak
bicara. Hanya sesekali melihat hapenya saja. Dan aku pun kembali pada ingatanku
lagi.

Waktu itu di suatu sore aku membuka pesan SMS dari
Joya. Rasanya seperti mendapatkan petir dan aku mulai gelisah. Aku coba
membalas pesan darinya dengan cepat.

Di dalam teks pesan itu tertulis ‘Bel, sebaiknya
kita sudah nggak usah cerita-cerita lagi ya. Karena kita sudah dewasa dan nggak
seharusnya semua bisa diceritakan.’

Aku memegang hapeku dengan lebih erat seperti takut terjatuh
dari genggaman. Rasanya seperti ingin menggenggam tangannya dan tidak ingin dia
pergi.

Aku membalasnya, ‘kamu kenapa sih? Kok tiba-tiba
ngomong gini. Jadi beberapa hari nggak muncul ini alasannya? Tapi kenapa?’

‘Nggak papa Bel. Aku cuman pengen kita biasa aja.’

Setiap kali aku mencoba mengetik balasan aku pastikan
tidak ada yang salah dengan kata-kataku. Aku takut dia tersinggung dan tambah
menjauhiku. Yang aku tahu setelah lulus kuliah dia mendapatkan pekerjaan di
sebuah bank swasta ternama dan saat itu dia sedang training. Aku juga tahu bahwa
dia sedang berkenalan dengan seorang pria pilihan orang tuanya. Namun untuk
kelanjutannya aku tidak pernah tahu lagi dari Joya.

Cukup lama untukku terus bertanya kenapa dan mencoba
introspeksi diri tentang kemungkinan kesalahan yang ku perbuat. Aku pun coba
jelaskan lewat inbox facebooknya waktu itu. Tapi lagi-lagi hanya mendapatkan
jawaban singkat. Dia ingin aku dan dia biasa aja seperti dengan teman-teman
yang lainnya.

Secepat ini kah kamu berubah? Bahkan aku belum sempat
membagikan apa yang bisa ku raih dalam hidup ini. Aku masih punya impian yang
dulu pernah kamu ceritakan bahwa kamu ingin bisa nonton konser orchestra musik
klasik suatu hari nanti. Aku masih punya impian saat dulu kamu cerita kita akan
terus berbagi suka dan duka meski sudah memiliki pasangan masing-masing.

Kemudian Arista mengagetkanku dengan menumpahkan
minumannya di bajuku. “Eh sorry, Bel. Basah ya bajumu.”

“Nggak papa, Ris. Santai aja, ntar juga kering.
Tumpah dikit kok.”

“Kamu ngelamunin apa sih, Bel?”

“Nggak ada kok. Lihat pemandangan aja.” Aku
membuka hape untuk mengalihkan pembicaraan Arista.

“Buat tidur dulu, Bel. Perjalanan masih
jauh.”

Aku cuma menggangguk dan sedikit tersenyum pada
Arista.

Dalam hati ingin sekali ku sampaikan bahwa sejak
kepergiannya aku tidak bisa lagi seterbuka itu. Kenapa hanya denganku dia
meminta berteman biasa aja. Padahal beberapa kali aku lihat di beranda
facebooknya dia sedang berfoto hangout bersama teman-teman SD yang dulu katanya
tak membuat nyaman. Haruskah aku merasa iri?

***

Perjalanan kereta itu mengingatkanku padamu. Kereta
api yang melewati senja. Dan kini  senja pun
selalu mengingatkanku padamu, sahabatku.

Aku kembali melakukan perjalanan dengan kereta api
untuk kedua kalinya setelah menikah. Bukan dengan Arista atau denganmu, Joya, tetapi
dengan suamiku. Perjalanan ini pun mengingatkanku padamu. Ingin sekali ku
bertanya dimana janji berbagi suka dan duka itu yang dulu kau ucapkan.

Kali kedua aku melewati senja dengan kereta api.
Perjalanan ini selalu mengingatkanku padamu. Saat ini aku ingin sekali berbagi
tentang sukaku yang akhirnya mendapatkan pasangan hidup. Dimanakah kamu, Joya?

Joya, sahabatku. Kamu akan selalu berada di memoryku.
Seburuk apapun kisah akhir kita, tapi dirimu tetap yang terbaik dalam memoryku.
Karena hanya denganmu aku bisa bagikan suka dan duka ini seperti yang kau
katakan dulu. Kini aku hanya bisa berbagi lewat tulisan. Berharap suatu saat
kau membaca dan mengingatnya.